15.19 -
Fiqh
No comments
Kesalahpahaman Terhadap Hukum Islam
BAB - V
KESALAHPAHAMAN TERHADAP HUKUM ISLAM
1. Cakupan Hukum Islam
Sejauh ini masih banyak kalangan yang memahami bahwa hukum Islam hanyalah meliputi hal-hal yang sering disebut sebagai “hukum”, yang mencakup pidana dan perdata. Pemahaman ini perlu diluruskan. Sebab hukum Islam tidaklah sesempit itu. Hukum Islam, bahkan, bisa dikatakan meliputi segenap aspek kehidupan, sampai kepada hal-hal yang seringkali tidak dikategorikan dalam wilayah “hukum”. Sebagai contoh, perkara-perkara yang sangat privat dan tidak mempunyai dimensi sosial sekalipun, ternyata masuk dalam cakupan hukum Islam, yang mana perkara-perkara yang demikian ini tidak pernah dianggap oleh hukum Barat sebagai permasalahan hukum. Keluasan cakupan hukum Islam sebetulnya tidaklah aneh karena secara teologis berawal dari konsep keparipurnaan Islam (syumuliyyat al-Islam). Konsep ini mengatakan bahwasanya Islam bersifat paripurna, yang berarti telah mengatur seluruh aspek kehidupan tanpa kecuali. Dalam pandangan Islam, seluruh permasalahan manusia mesti ada hukumnya. Tidak ada satupun persoalan yang tidak ditetapkan hukumnya oleh Islam. Salah satu hal yang mendukung paham ini adalah adanya prinsip kontinuitas (al-istishhab) dalam metodologi hukum Islam. Kalangan fuqaha’ (ahli hukum Islam) seringkali menggambarkan cakupan hukum Islam dengan cara mengklasifikasikan hukum Islam atas masalah-masalah ta’abbudiyah, muamalah, ahwal al-syakhshiyyat, jinayat (pidana), dan siyasat (politik).
Klasifikasi ini memang cukup representatif, namun belumlah benar-benar mencakup keseluruhan aspek yang diatur oleh hukum Islam. Namun, dengan berpegang pada klasifikasi tersebut pun, kita sudah bisa menggambarkan perbedaan cakupan antara hukum Islam dan hukum Barat (yang mana cakupan hukum Islam lebih luas). Aspek muamalah dan ahwal al-syakhshiyyat barangkali identik dengan aspek perdata dalam terminologi hukum Barat. Yang aneh adalah masuknya aspek ibadah dan siyasat dalam cakupan hukum Islam. Aspek ibadah kebanyakan bersifat transendental, privat, dan tidak berdimensi sosial. Aspek ini lebih berorientasi pada hubungan antara manusia dan Tuhan sehingga menurut hukum Barat bukanlah merupakan permasalahan hukum.
Namun anehnya, Islam menganggapnya sebagai permasalahan hukum. Bahkan, sementara kalangan sering mengkonotasikan fiqih Islam (istilah lain bagi hukum Islam) sebagai aspek ibadah. Tatkala mereka menentang berlarut-larutnya diskursus dalam masalah-masalah ibadah maka mereka berkata,”Jangan hanya berkutat pada fiqih saja!” Masuknya siyasat (politik) dalam cakupan hukum Islam juga merupakan keanehan tersendiri. Dalam khazanah keilmuan Barat (maksudnya, yang tumbuh secara formatif di Barat), politik terpisah dari hukum sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri. Sebetulnya yang patut menjadi perhatian bukanlah pemisahan itu sendiri, akan tetapi implikasinya. Pemisahan tersebut ternyata telah memposisikan keduanya secara berseberangan atau bahkan berhadap-hadapan. Pemikiran-pemikiran politik dan hukum atas satu permasalahan yang sama terkadang amat berbeda bahkan bertentangan. Karena itu tidaklah mengherankan apabila ada orang yang berkata,”Permasalahan ini jika diselesaikan secara yuridis adalah begini sementara jika diselesaikan secara politis adalah begitu!” Karena itu pula amat wajar apabila kemudian muncul semacam pertentangan klan antara para politisi dan para yuris.
Umat Islam hendaknya tidak secara latah mengikuti arus pertentangan ini. Dalam Islam, politik dan hukum itu identik (atau kalau kita mengikuti klasifikasi yang baru lalu maka politik merupakan bagian dari hukum). Dalam Islam tidak layak timbul pertentangan antara pemikiran politik dan pemikiran hukum, karena memang sejak awal tidak ada alasan untuk itu. Hukum Islam memiliki suatu pola pikir yang amat komprehensif. Ushul fiqih (sebagian orang menyebutnya sebagai filsafat hukum Islam) misalnya, telah meletakkan suatu pola pikir yang amat mendasar, yang digali secara radikal dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Oleh karena sifatnya yang mendasar dan filosofis itulah maka konsep-konsep ushul fiqih bisa “ditarik” secara induktif kemanapun juga. Konsep-konsep ushul fiqih bisa digunakan sebagai basis pemikiran bagi segenap persoalan manusia, termasuk persoalan politik. Sehingga, tatkala kita berbicara tentang politik maka pada dasarnya kita juga berbicara tentang hukum. Karena itu, dalam “kamus” Islam tidak ada “istilah” pertentangan antara politik dan hukum. Kesatuan antara politik dan hukum dalam Islam memang seringkali terlupakan sehingga memunculkan berbagai polemik yang sebetulnya tidak perlu ada.
2. Perbedaan antara Syariat dan Fiqih
Sebagian (kalau bukan kebanyakan) orang menganggap bahwa syariat dan fiqih adalah sama. Padahal, keduanya berbeda dari segi bahwa syariat berorientasi Ilahiyah sementara fiqih berorientasi pada pemikiran manusia. Maksudnya, syariat merupakan ketentuan-ketentuan kehidupan yang telah ditetapkan oleh Allah sementara fiqih (yang secara lughawi bermakna pemahaman) merupakan interpretasi manusia atas ketentuan-ketentuan tersebut. Mengapa perlu ada interpretasi? Jawabnya adalah karena manusia dituntut untuk bisa memahami ketentuan-ketentuan Allah tersebut, yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dengan apa manusia akan memahaminya? Jawabnya, tentu dengan akal. Tanpa akal, manusia tidak akan dapat memahami Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Karena itu apabila ada yang mengatakan bahwa akal lebih tinggi daripada wahyu maka jangan terburu-buru menyalahkannya. Perkataan tersebut benar apabila yang dimaksudkan adalah bahwa wahyu tidak akan berarti sedikit pun tanpa adanya akal sebagai alat untuk memahami. Namun apabila perkataan tersebut dimaksudkan dengan makna tingkatan otoritas maka itulah sebatil-batil perkataan! Karena fiqih merupakan hasil pemikiran manusia maka kebenarannya bersifat relatif. Sebaliknya, kebenaran syariat bersifat absolut karena merupakan ketetapan Allah Yang Maha Benar. Sebetulnya, kebenaran dalam setiap persoalan hanya ada satu yaitu sebagaimana yang dikehendaki oleh syariat. Akan tetapi karena syariat itu hanya bisa dipahami melalui fiqih, sementara fiqih merupakan hasil pemikiran manusia yang bisa berbeda antara satu orang dan orang lain, maka kebenaran itupun muncul sebagai lebih dari satu. Hal ini telah dijelaskan oleh Nabi yang mengatakan bahwa hasil ijtihad secara hakiki bisa benar dan bisa salah, namun kedua-keduanya tetaplah “benar” (ditunjukkan dengan pemberian pahala) sepanjang diperoleh melalui metode ijtihad yang benar. Oleh karena itu, adanya berbagai perbedaan pendapat dalam fiqih (sepanjang dihasilkan melalui metode ijtihad yang benar) merupakan suatu kewajaran. Kita harus menyadari bahwa hasil pemikiran manusia bisa berbeda-beda meskipun mengenai masalah yang sama, yang secara hakiki hanya mempunyai satu jawaban yang benar.
Hal lain yang juga patut dicatat dalam masalah relativitas kebenaran fiqih adalah bahwasanya ada ketentuan-ketentuan syariat yang dinyatakan secara qath’iy al-dalalah dan ada pula yang dinyatakan secara zhanniy al-dalalah. Dalam hal-hal yang qath’iy, setiap akal sehat (common sense, al-‘aql al-dharuriy) pasti akan memahaminya secara sama. Namun dalam hal-hal yang zhanniy, manusia mungkin akan memahaminya secara berbeda-beda, meskipun secara hakiki pemahaman yang diharapkan hanyalah satu.
3. Pergeseran Makna pada Kata Syariat dan Fiqh
Selanjutnya, kita akan melakukan tinjauan bahasa terhadap kata syariat dan fiqih. Kedua kata ini dalam perkembangannya telah mengalami penyempitan makna, sehingga akhirnya makna populernya sudah bergeser (menyempit) dari makna aslinya. Dalam penggunaan populer, istilah syariat sering diartikan sebagai hukum Islam yang berkonotasi pada aspek legal formal dalam Islam. Istilah ini sering disandingkan bersama-sama dengan akidah dan akhlaq, dalam trio bangunan Islam: akidah-syariat-akhlaq (dalam istilah lain: iman - amal (islam) - ihsan). Di sini syariat dibedakan dari akidah dan akhlaq (etika). Padahal, jika merujuk pada makna aslinya maka syariat juga meliputi akidah dan akhlaq. Mengapa demikian? Jawabnya adalah karena makna asli syariat adalah sistem aturan kehidupan yang telah ditetapkan oleh Allah (secara lughawi, syariat bermakna jalan yang lebar), yang tentu saja meliputi segenap aspek kehidupan, termasuk akidah dan akhlaq. Jadi, dalam makna aslinya, syariat kurang lebih semakna dengan al-din atau al-millat (agama). Demikian pula, istilah fiqih juga telah mengalami pergeseran (penyempitan) makna. Dalam penggunaan populer, fiqih diartikan sebagai ilmu hukum Islam, atau lebih tepatnya ilmu yang mempelajari ketentuan-ketentuan syariat yang bersifat amaliyah dengan didasarkan pada dalil-dalil yang terperinci.
Pendek kata, secara populer fiqih merupakan suatu disiplin ilmu. Padahal apabila kita merujuk pada makna aslinya, maka fiqih sebetulnya bermakna pemahaman yang mendalam. Karena itu, istilah tafaqquh fi al-din harus diartikan sebagai usaha memahami agama secara mendalam dalam seluruh aspeknya, tidak hanya aspek hukumnya - par excellence - saja. Pengetahuan tentang pergeseran makna kata amatlah penting karena kata-kata tersebut seringkali merupakan kosakata yang digunakan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dalam hal ini, kita tidak boleh terjebak kedalam pemahaman yang didasarkan pada pemaknaan yang telah bergeser. Sebaliknya, kita harus tetap memandang kata-kata tersebut secara orisinil dengan tetap memperhatikan konteksnya. Pergeseran makna yang absah dalam kerangka memahami Al-Qur’an dan Al-Sunnah hanyalah pergeseran makna yang terjadi pada saat kedua sumber hukum itu masih dalam proses pembentukannya (misalnya kata shalat yang telah menyempit dari makna doa kepada makna suatu bentuk aktivitas ritual, dimana penyempitan makna ini terjadi saat Al-Qur’an masih turun).
4. Hukum Pidana Islam dan Penerapannya
Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, penulis ingin meluruskan adanya berbagai kesalahpahaman terhadap pemberlakuan hukum pidana Islam (jinayat) - yang meliputi qishash, hudud, ta’zir, dan kaffarah. Memang patut disayangkan bahwa ternyata sebagian besar umat Islam ternyata masih mengidap phobia terhadap hukum pidana Islam, bahkan hukum Islam secara umum. Mereka yang mengidap phobia ini bisa dibedakan menjadi beberapa kelompok. Pertama, orang-orang non muslim yang memiliki antipati terhadap Islam sehingga selalu berusaha menghalangi tegaknya hukum Islam (terutama yang mempunyai dimensi sosial dan politik). Dalam usahanya, mereka tidak segan-segan mempelajari Islam dengan tekun untuk mencari titik-titik kelemahannya untuk kemudian menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang Islam.
Dari sinilah kemudian muncul orientalisme (yang dalam perkembangannya lebih terfokus pada Islamo-orientalisme atau orientalisme Semitik) – meskipun dalam perkembangannya muncul pula studi-studi orientalisme dengan tujuan-tuuan yang lebih ilmiah dan obyektif. Golongan pertama ini senantiasa berusaha menyebarkan bias (syubhat) tentang hukum Islam ke tengah-tengah kaum muslimin, dengan dukungan media informasi dan komunikasi yang unggul. Kedua, orang-orang yang menolak penerapan hukum Islam karena akan merugikan kepentingan-kepentingan pribadinya. Golongan kedua ini bisa berasal dari muslim maupun non muslim. Ketiga, orang-orang yang menolak hukum Islam karena belum memahaminya secara benar. Agaknya, persentase golongan ketiga ini cukup besar dalam tubuh umat Islam, meskipun golongan ini juga terdapat pada sebagian non muslim. Yang patut dicamkan, ternyata kebelumpahaman golongan ini ternyata sangat diperburuk oleh gencarnya syubhat yang dilancarkan oleh golongan pertama (dan mungkin juga golongan kedua). Kali ini, penulis ingin memfokuskan diri pada golongan ketiga (terakhir).
Tugas besar para juru dakwah (terutama para fuqaha’ par excellence) adalah menanamkan pemahaman yang benar tentang hukum Islam kepada golongan terakhir ini, yang sebagian besar adalah umat Islam sendiri. Dalam masalah penerapan hukum pidana Islam misalnya, kebanyakan orang mengira bahwa hukum pidana Islam amatlah kejam dan tidak berperikemanusiaan. Mereka mengira bahwa hukuman berat akan dengan mudah dijatuhkan. Mereka hanya tahu bahwa setiap pembunuh akan dibunuh pula. Padahal pembunuhan sendiri mempunyai beberapa kategori, yaitu ‘amd (sengaja) dan khatha’(tidak sengaja) – Imam Syafi’i menambahkan satu kategori lagi yang merupakan pertengahan diantara keduanya, yang disebut syibh ‘amd (mirip sengaja). Masing-masing kategori memiliki bentuk hukumannya sendiri-sendiri, yang tidak hanya berupa balas bunuh (qawad). Pendapat yang populer bahkan mengatakan bahwa untuk kategori ‘amd dan syibh ‘amd, hukuman bisa saja hanya berupa denda (diyat) apabila ahli waris korban menghendakinya. Khusus untuk kategori khatha’, hukumannya hanyalah berupa denda. Lagipula, bukankah pantas dan adil bahwa seorang pembunuh harus dibunuh pula?
Pengalaman kehidupan mencatat bahwa angka pembunuhan terus meningkat akibat hukum yang tidak tegas dan berwibawa. Perlu dipahami, syariat Islam (al-Muhammadiyyat) merupakan syariat yang adil dan pertengahan (wasath). Ibn Taimiyyah – dan diikuti oleh Muhammad Abduh - mengatakan bahwa syariat Muhammad merupakan pertengahan antara syariat Musa yang tegas serta keras dan syariat Isa yang penuh kasih-sayang dan kelembutan. Dalam hal hudud, kebanyakan orang mengira bahwa hadd akan sangat mudah dijatuhkan. Padahal sebetulnya tidaklah demikian. Hadd zina, sebagai contoh, baru bisa dijatuhkan apabila memenuhi hal-hal berikut: 1. Pelaku mengakui sendiri perbuatannya (al-iqraar) yang berakibat dirinya di-hadd, namun penuduhan zina terhadap orang lain (misalnya terhadap pasangan zinanya sekalipun) tidak bisa menyebabkan tertuduh di-hadd. Bahkan apabila tuduhan itu bukan antara suami isteri dan tidak disertai saksi yang cukup maka penuduh diancam dengan hadd qadzf (tuduhan palsu). Sedangkan apabila penuduhan itu terjadi antara suami isteri maka timbullah li’aan (saling melaknat). 2. Apabila tidak ada pengakuan (al-iqraar), maka hadd hanya bisa jatuh apabila ada persaksian dari empat orang saksi laki-laki yang adil, yang mana saksi-saksi tersebut harus melihat sendiri bahwa hasyafah telah masuk kedalam farj, dan semua saksi harus menyatakan bahwa zina tersebut terjadi pada tempat dan waktu yang sama. 3. Tidak ada syubhat, baik syubhat bi al-fa’il, syubhat bi al-fi’l, atupun syubhat fi al-hukm.
Hal lain dalam hukum pidana Islam yang harus dipahami adalah bahwasanya penegakan atau pemberlakuan bentuk-bentuk hukum pidana Islam hanya bisa dilakukan apabila “infrastrukturnya” telah siap. Hukum zina tidak bisa diterapkan pada suatu masyarakat yang masih dipenuhi dengan berbagai bentuk pornografi dan tempat-tempat mesum yang menjamur. Jika tidak, alangkah banyaknya orang yang akan dicambuk dan dirajam setiap harinya! Hukum potong tangan belum boleh diterapkan pada suatu masyarakat yang sedang dilanda bencana kelaparan atau penuh dengan monopoli dan kesenjangan sosial yang fatal. Kalau tidak, alangkah banyaknya tangan-tangan yang akan dipotong setiap harinya! Hukuman hadd bagi peminum khamr belum boleh diberlakukan apabila pabrik-pabrik khamr masih dibiarkan leluasa memproduksi khamr-nya. Sebetulnya masih banyak permasalahan mengenai hukum Islam dan penerapannya, yang harus dipahamkan secara benar kepada umat Islam, dan umat manusia pada umumnya. Usaha-usaha penerangan ini harus dilakukan dengan baik dan tekun, dengan memanfaatkan berbagai sarana informasi dan komunikasi di jaman modern ini.
[Baca: Bab Sebelumnya | Bab Selanjutnya]
0 Komentar:
Posting Komentar