15.01 -
Fiqh
No comments
Perilaku Akhlaqi Pada Diri Seorang Mujtahid
BAB - XIII
PERILAKU AKHLAQI PADA DIRI SEORANG MUJTAHID
PERILAKU AKHLAQI PADA DIRI SEORANG MUJTAHID
Para ulama menegaskan bahwa seorang mufti dilarang berfatwa apabila sedang dalam keadaan marah, gelisah yang amat dalam, lapar yang sangat, dan yang semacamnya. Sebaliknya, seseorang dianjurkan untuk tidak meminta fatwa kepada orang yang suka bergurau, karena dikhawatirkan gurauannya akan mempengaruhi fatwanya. Pernyataan diatas secara esensial berarti bahwa seorang mufti haruslah berada dalam kondisi mental emosional yang “prima” pada saat mengeluarkan fatwanya. Kesempurnaan mental emosional bagi seorang mufti merupakan prasyarat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kondisi mental emosional yang buruk pada diri seorang mufti nantinya akan turut mempengaruhi fatwanya. Kondisi mental emosional yang baik merupakan iklim yang kondusif sekaligus mitra yang baik bagi rasionalitas hukum (legal rationality) yang dimiliki oleh seorang mufti.
Sebaliknya, kondisi mental emosional yang buruk akan menjadi perusak bagi rasionalitas hukum seorang mufti. Salah satu sifat mental positif yang wajib dimiliki oleh seorang mufti adalah sifat cinta (hubb, rahmah) kepada sesama manusia dan makhluk Allah. Minimal, cintanya itu harus sama dengan cintanya kepada dirinya sendiri. Akan lebih baik lagi, kalau dia bisa bersikap itsar (melebihi dari rasa cinta kepada dirinya sendiri). Seorang mujtahid harus selalu memandang sesama manusia dan alam dengan penuh kasih sayang dan rasa-rasa positif-optimis. Sifat mental yang demikian ini akan menjadi iklim yang bagus bagi obyektivitas rasionalitas hukum seorang mujtahid. Agaknya, Rasulullah benar-benar merupakan teladan yang sangat baik dalam masalah ini. Beliau senantiasa merasa berat untuk memikulkan beban yang berat dipundak umatnya. Beliau merupakan pribadi yang sangat empatik terhadap umatnya. Beliau amat bahagia melihat kebahagiaan umatnya, sebaliknya, merasa sedih melihat penderitaan umatnya.
Disebutkan dalam sebuah hadits shahih bahwa dalam mi’raj, Rasulullah telah mengajukan dispensasi frekuensi shalat wajib – yang akhirnya ditetapkan hanya menjadi lima kali sehari semalam . Diriwayatkan pula bahwa Rasulullah tidak senang melihat tiga orang sahabatnya yang berniat untuk berlebihan dalam beragama, sebaliknya, dengan penuh kasih-sayang menganjurkan kepada ketiganya untuk bersikap wajar dalam beragama. Penganiayaan orang-orang Thaif kepada Nabi, bahkan, tidaklah membuat Nabi marah dan mengiyakan adzab Allah kepada mereka. Sebaliknya, Nabi malah mendoakan turunnya petunjuk dan kebaikan atas mereka karena Nabi sadar bahwa mereka adalah orang-orang yang belum mengerti. Kejadian yang serupa dengan ini adalah tindakan Nabi atas seorang Badui yang buang air kecil di masjid Nabi. Beberapa contoh tindakan Nabi diatas – dari banyak tindakan serupa yang tak terhitung jumlahnya – menunjukkan betapa besarnya kasih sayang dan empati beliau terhadap umatnya. Kendatipun begitu lapangnya sikap Nabi terhadap para sahabatnya – dan umatnya secara umum – namun Nabi dari sisi pribadi merupakan seorang yang amat zuhud. Hal ini antara lain tergambar dalam sebuah hadits dimana Aisyah ra merasa heran atas usaha beliau yang tak kenal lelah dalam bertaqarrub kepada Allah.
Ketika Aisyah menanyakan hal itu maka Nabi menjawab,”Tidakkah saya ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur?” Begitulah Rasulullah, secara pribadi beliau adalah manusia yang paling zuhud namun pada saat yang sama merupakan manusia yang paling lapang hatinya dalam berdakwah menyeru manusia ke jalan Allah. Landasan syar’i atas sikap yang demikian itu antara lain:
- Tuntunan Nabi bahwa orang yang bertindak sebagai imam shalat berjamaah hendaknya mempercepat shalatnya. Akan tetapi dalam shalat sendirian, seseorang diberi kebebasan untuk shalat selama mungkin sesuai kehendaknya. Esensi dari tuntunan ini adalah bersikap lapang terhadap banyak orang dan bersikap ketat - namun tidak boleh berlebihan – dalam urusan pribadi.
- Firman Allah Subhanahu Wata'ala:
"Berdakwalah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan nasihat yang baik ....” (QS. Al-Nahl: 125)
“Dan mereka saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 3)
“Dan mereka saling menasihati dalam kebenaran dan mereka saling menasihati dalam kasih sayang. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Balad: 17)
“Pergilah engkau berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun karena sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berkatalah kepadanya dengan perkataan yang lembut agar dia menjadi ingat atau takut (kepada Tuhannya).” (QS. Thaha : 43-44)
“... Dan (Allah) tidaklah menjadikan kesempitan atas kamu dalam agama (Islam).” (QS. Al-Hajj: 78)
“... (Allah) menghendaki kemudahan bagi kalian dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah : 185)
“Katakanlah (wahai Muhammad): Siapakah gerangan yang telah mengharamkan perhiasan Allah dan rizki yang baik-baik yang telah Dia anugerahkan untuk hamba-hamba-Nya? Katakanlah : Semua itu adalah untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan secara khusus pada hari kiamat. Demikianlah Aku menjelaskan ayat-ayat(-Ku) kepada kaum yang berilmu. Katakanlah: Rabbku hanyalah mengharamkan segala yang buruk baik yang nampak atau yang tersembunyi, segala dosa, dan perbuatan yang melampaui batas tanpa (alasan) yang benar. Dan janganlah menyekutukan Allah dengan sesuatu yang mana Dia tidak menurunkan keterangannya. Dan janganlah mengatakan atas nama Allah sesuatu yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-A’raf: 32-33)
“Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah bagimu, demi mendapatkan perkenan isteri-isterimu?” (QS. Al-Tahrim: 1)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengharamkan sesuatu yang baik, yang telah dihalalkan oleh Allah bagi kalian. Dan janganlah melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Maidah: 87)
Rasulullah Salallahualaihiwassalam bersabda:
“Bermudah-mudahlah dan jangan mempersulit. Sampaikanlah kabar gembira dan jangan membuat orang lari (dari Islam)”. “Sesungguhnya aku diutus dengan membawa (din) yang lurus (al-hanifiyyah) dan lapang (al-samhah)”.
Di lain sisi, terdapat banyak sekali hadits-hadits Nabi yang mengajarkan untuk bersikap wara’ dan zuhud dalam kehidupan pribadi. Bahkan, Nabi sendiri – secara non eksklusif - telah mencontohkan kehidupan pribadi yang paling wara’ dan zuhud.
Seorang mujtahid harus terbebas dari akhlaq tercela yang berlawanan dengan kasih-sayang. Ia tidak boleh dijangkiti oleh sifat iri-dengki dan dendam terhadap sesama. Sifat-sifat yang demikian ini akan kontraproduktif – destruktif terhadap rasionalitas hukum. Akibatnya, keputusan hukum yang diperoleh akan cacat. Yang patut dicatat dalam masalah kasih-sayang ini adalah ketidakbolehan berlebih-lebihan dalam memanifestasikan kasih-sayang, yang pada dasarnya justru bertentangan dengan hakikat kasih-sayang itu sendiri. Hakikat kasih-sayang disini adalah mewujudkan kebahagiaan hakiki, dunia dan akhirat, bagi sesama. Apabila kasih-sayang itu dimanifestasikan secara berlebih-lebihan sehingga mengancam kebahagiaan hakiki orang lain maka pada dasarnya hal itu adalah destruksi dan bukan kasih-sayang.
Satu tamsil yang sering dipakai untuk menggambarkan hal ini adalah kasih-sayang seorang ibu pada anaknya yang masih kecil. Terkadang si ibu harus mencegah keinginan-keinginan si anak, bahkan sampai anaknya menangis, karena keinginan tersebut bisa membahayakan si anak. Dari sisi pribadi, perilaku wara’ dan zuhud seorang mujtahid menunjukkan ketulusan dan kesungguhannya dalam mengabdi kepada Allah. Dia rela meninggalkan permainan-permainan dunia, yang sebetulnya diperbolehkan, demi melakukan mujahadah menggapai kasih-sayang dan perkenan-Nya. Sebuah ungkapan yang amat terkenal, yang menggambarkan perilaku ini, mengatakan “Seseorang tidak akan mencapai derajat ketaqwaan tertinggi sebelum dia menganggap apa-apa atas sesuatu yang dianggap tidak apa-apa bagi kebanyakan orang”. Namun, perlu dicatat bahwa perilaku ini bukanlah melarang sesuatu yang diperbolehkan oleh Allah. Sama sekali tidak.
Hal ini dibuktikan oleh bahwasanya dia tidak pernah melarang orang lain dalam melakukan perbuatan tersebut, karena memang diperbolehkan. Dia hanya memilih (ikhtiyar) antara mengerjakan dan meninggalkan, tanpa keyakinan melarangnya sama sekali. Yang terlarang adalah apabila dia meninggalkannya dengan keyakinan atas ketidakbolehannya, padahal diperbolehkan. Perilaku akhlaqi seperti yang dijelaskan diatas merupakan kecenderungan yang terbaik, dibandingkan dengan kecenderungan-kecenderungan lainnya. Sebagian mujtahid ada yang bersikap lapang dalam berfatwa sekaligus bersikap lapang terhadap dirinya sendiri. Sikap yang demikian juga benar, dalam artian dia berusaha memanfaatkan kemurahan Allah berupa nikmat-nikmat dunia bagi dirinya, diiringi rasa syukur yang dalam kepada-Nya, sehingga ketaatannya bisa bertambah.
Hal ini adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Al-Syathibi dalam buku beliau Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, bab Hukum Mubah. Sebagian mujtahid ada pula yang bersikap ketat dalam berfatwa dan dalam kehidupan pribadinya dia bersikap lebih ketat lagi. Kecenderungan yang demikian juga bisa dimaklumi. Besar kemungkinan dia bersikap ketat dalam berfatwa adalah juga karena kasih-sayangnya yang besar kepada sesama, agar mereka tidak terpedaya oleh kehidupan dunia dan hanya mengabdikan hidup untuk agama, yang ujung-ujungnya adalah kebahagiaan hakiki. Berbagai perbedaan kecenderungan seperti diatas adalah wajar, sesuai dengan sunnatullah dan fitrah manusia itu sendiri. Yang terpenting dari kesemuanya adalah niat yang tulus disertai mujahadah menurut cara-cara yang telah dituntunkan oleh Allah.
[Baca: Bab Sebelumnya | Bab Selanjutnya]
0 Komentar:
Posting Komentar