Jumat, 16 Juli 2010

Kisah-Kisah Nabi Khidir Alaihissalam

Berikut adalah kisah-kisah Nabi Khidir yang dipetik dari berbagai sumber:

  • Nabi Khidir Takziah kepada keluarga Rasulullah SAW

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Tafsir: “Bercerita kepadaku ayahku, yang didengarnya dari Abdul Aziz Al-Ausiy, dari Ali bin Abu Ali, dari Jakfar bin Muhammad bin Ali bin Husain, dari ayahnya, katanya Ali bin Abi Talib berkata: “Ketika wafat Rasulullah SAW, datanglah ucapan takziah. Datang kepada mereka (keluarga Nabi SAW) orang yang memberi takziah. Mereka mendengar orang memberi takziah tetapi tidak melihat orangnya. Bunyi suara itu begini: ‘Assalamu Alaikum Ahlal Bait Warahmatullahi Wabarakatuh. Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Bahwasanya disempurnakan pahala kamu pada hari kiamat. Sesungguhnya dalam agama Allah ada pemberi takziah bagi setiap musibah, bagi Allah ada pengganti setiap ada yang binasa, begitu juga menemukan bagi setiap yang hilang. Kepada Allah-lah kamu berpegang dan kepada-Nya mengharap. Sesungguhnya orang yang diberi musibah adalah yang diberi ganjaran pahala.”

Berkata Jakfar: “Bercerita kepadaku ayahku bahawa Ali bin Abi Talib ada berkata: “Tahukah kamu siapa ini? Ini adalah suara Nabi Khidir.” Berkata Muhammad bin Jakfar: “Adalah ayahku, yaitu Jakfar bin Muhammad, menyebutkan tentang riwayat dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ali bin Abi Talib, bahawa datang ke rumahnya satu rombongan kaum Quraisy kemudian dia berkata kepada mereka: “Maukah kalian aku ceritakan tentang Abul Qasim (Muhammad SAW)?” Kaum Quraisy itu menjawab: “Tentu saja mau.”

Ali bin Abi Talib berkata: “Jibril Alaihis salam pernah berkata kepada Rasulullah SAW: “Selamat sejahtera ke atasmu, wahai Ahmad. Inilah akhir watanku (negeriku) di bumi. Sesungguhnya hanya engkaulah hajatku di dunia.” Maka tatkala Rasulullah SAW wafat, datanglah orang yang memberi takziah, mereka mendengar suaranya tetapi tidak melihat wujudnya. Orang yang memberi takziah itu berkata: “Selamat sejahtera ke atasmu wahai ahli bait. Sesungguhnya pada agama Allah ada pemberi takziah setiap terjadi musibah, dan bagi Allah ada yang menggantikan setiap ada yang binasa. Maka kepada Allah-lah kamu berpegang dan kepada-Nya mengharap. Sesungguhnya orang yang diberi musibah adalah yang diberi ganjaran pahala.” Mendengar yang demikian Ali bin Abi Talib berkata: “Tahukah kamu siapa yang datang itu? Itu adalah Khidir.”

Berkata Saif bin Amr At-Tamimi dalam kitabnya Ar-Riddah, yang diterimanya dari Sa’id bin Abdullah, dari Ibnu Umar mengatakan: “Ketika wafat Rasulullah SAW, datanglah Abu Bakar ke rumah Rasulullah. Ketika beliau melihat jenazah Rasulullah SAW, beliau berkata: “Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun.” Kemudian beliau bersama sahabat-sahabat yang lain melaksanakan shalat jenazah bagi Rasulullah SAW. Saat shalat itu mereka mendengar suara ghaib. Selesai shalat dan mereka semuanya dalam diam, terdengar suara orang di pintu mengatakan: “Selamat sejahtera ke atas kamu wahai Ahli Bait. Setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. Hanyasanya disempurnakan pahala kamu pada hari kiamat. Sesungguhnya pada agama Allah ada pengganti setiap ada yang binasa dan ada kelepasan dari segala yang menakutkan. Kepada Allah-lah kamu mengharap dan dengan-Nya berpegang. Orang yang diberi musibah akan diberi ganjaran. Dengarlah itu dan hentikan kamu menangis itu."

Mereka melihat ke arah datangnya suara itu tetapi tidak melihat seorangpun di sana. Kerana sedihnya mereka menangis lagi. Tiba-tiba terdengar lagi suara yang lain yang mengatakan: “Wahai Ahli Bait, ingatlah kepada Allah dan pujilah Dia dalam segala hal, maka jadilah kamu golongan orang mukhlisin. Sesungguhnya dalam agama Allah ada pemberi takziah setiap terjadi musibah, dan ada pengganti setiap ada yang binasa. Maka kepada Allah-lah kamu berpegang dan kepada-Nya taat. Sesungguhnya orang yang diberi musibah adalah orang yang diberi pahala.” Mendengar itu berkata Abu Bakar: “Ini adalah Khidir dan Ilyas. Mereka datang atas kematian Rasulullah Salallahu'alaihi Wassalam.”.”

Berkata Ibnu Abu Dunia, yang didengarnya dari Kamil bin Talhah, dari Ubad bin Abdul Samad, dari Anas bin Malik, mengatakan: “Sewaktu Rasulullah SAW meninggal dunia, berkumpullah sahabat-sahabat beliau di sekeliling jenazahnya menangisi kematian beliau. Tiba-tiba datang kepada mereka seorang lelaki yang bertubuh tinggi memakai kain panjang. Dia masuk melalui pintu depan dalam keadaan menangis. Lalu lelaki itu menghadap kepada sahabat-sahabat dan berkata: “Sesungguhnya dalam agama Allah ada pemberi takziah setiap terjadi musibah, ada pengganti setiap ada yang hilang. Bersabarlah kamu kerana sesungguhnya orang yang diberi musibah itu akan diberi ganjaran.”

Kemudian lelaki itu pun raib dari pandangan mata para sahabat. Abu Bakar berkata: “Datang ke sini lelaki yang memberi takziah.” Dan mereka pun melihat ke kiri dan kanan tetapi lelaki itu sudah tidak tampak lagi. Abu Bakar berkata: “Barangkali yang datang itu adalah Khidir, saudara nabi kita. Beliau datang memberi takziah atas kematian Rasulullah Salallahu'alaihi Wassalam.”.”

Sudah kita simak ucapan-ucapan takziah "ghaib" yang hampir sama kata-katanya di atas. Ada yang mengatakan hadis ini daif. Ubad yang meriwayatkan hadis ini tidak diiktiraf oleh Imam Bukhari.

Berkata Ibnu Syahin dalam kitabnya Al-Jana’iz: “Bercerita kepada kami Ibnu Abu Daud, dari Ahmad bin Amr, dari Ibnu Wahab, dari Muhammad bin Ajlan, dari Muhammad bin Mukandar, berkata: “Pernah pada suatu hari Umar bin Khattab menyembahyangkan jenazah, tiba-tiba beliau mendengar suara di belakangnya: “Ahai, janganlah mendahului kami mengerjakan shalat jenazah ini. Tunggulah sampai sempurna dan cukup orang di belakang baru memulakan takbir.” Kemudian lelaki itu berkata lagi: “Jika engkau siksa dia ya, Allah, maka sesungguhnya dia telah durhaka kepada-Mu. Tetapi jika Engkau berjknan mengampuninya, maka sesungguhnya ia betul-betul mengharap pengampunan dari-Mu.” Umar bersama sahabat-sahabat yang lain sempat juga melihat lelaki itu. Tatkala jenazah itu sudah dikuburkan, lelaki itu masih ikut meratakan tanah sambil berkata: “Beruntunglah engkau wahai orang yang dikuburkan di sini.”

Umar bin Khattab berkata: “Tolong bawa ke sini lelaki yang mengatakan itu supaya kita tanya tentang shlatnya dan maksud kata-katanya itu.” Namun tba-tiba saja lelaki itu sudah menghilang dari pandangan mereka. Mereka mencari ke arah datangnya suara tadi dan melihat bekas telapak kakinya yang cukup besar. Umar bin Khattab berkata: “Barangkali yang datang itu adalah Khidir yang pernah diceritakan oleh Nabi kita Muhammad Salallahu'alaihi Wassalam.”

Ada juga yang mengatakan hadis ini tidak sahih. Kata Ibnu al-Jauzi hadis ini majhul (tidak dikenal) dan dalam sanadnya ada yang terputus di antara Ibnul Mukandar dengan Umar.

  • Nabi Khidir Menegur Pedagang

Berkata Ibnu Abu Dunia: “Bercerita kepadaku ayahku, yang didengarnya dari Ali bin Syaqiq, dari Ibnu Al-Mubarak, dari Umar bin Muhammad bin Al-Mukandar, berkata: “Ada seorang pedagang yang banyak memuji-muji barangnya dan banyak bersumpah untuk meyakinkan orang lain (pembeli). Tiba-tiba datang kepadanya seorang tua dan berkata: “Wahai pedagang, juallah barangmu tetapi jangan banyak bersumpah!” Namun pedagang itu masih tetap bersumpah sehingga orang tua itu berkata lagi: “Wahai pedagang, berniagalah secara jujur dan jangan banyak bersumpah!” Bahkan orang tua itu berkata lagi: “Berniagalah dengan cara yang wajar saja.” Pedagang itu berkata: “Inilah yang patut saya lakukan.” Kemudian orang tua itu berkata: “Utamakanlah kejujuran walaupun berat melakukannya dan tinggalkan berbohong walaupun ia akan membawa keuntungan.”

Akhirnya peniaga itu berkata: “Kalau begitu tuliskanlah semua apa yang engkau sebutkan tadi." Orang tua itu berkata: “Jika telah ditakdirkan sesuatu, maka itulah yang terjadi." Menurut mereka yang datang menegur itu adalah Nabi Khidir.

Diriwayatkan oleh Abu Amr, dari Yahya bin Abi Talib, dari Ali bin Ashim, dari Abdullah, berkata: “Pernah Ibnu Umar duduk-duduk di satu tempat, sedangkan seorang lelaki (tidak berapa jauh dari tempatnya) sudah mulai membuka dagangannya. Pedagang itu banyak bersumpah untuk menarik pembeli. Tiba-tiba datang kepadanya seorang lelaki dan berkata: “Takutlah kepada Allah dan jangan berbohong. Hendaklah engkau berkata jujur walaupun berat melakukannya dan jauhilah berdusta walaupun ia membawa manfaat. Dan jangan tambah-tambah dari cerita orang lain (apa yang ada).”

Ibnu Umar yang mendengar teguran orang tua itu berkata kepada peniaga itu: “Ikuti dia dan minta agar menuliskan apa yang disebutkannya tadi.” Pedagang itu pergi mengikutinya dan meminta supaya menuliskan apa yang disebutkannya tadi. Tetapi orang tua itu hanya berkata: “Jika sesuatu itu sudah ditentukan Allah, maka itulah yang terjadi.” Kemudian orang tua itu pun tiba-tiba saja raib. Pedagang itu kembali menjumpai Ibnu Umar dan menyampaikan apa yang baru saja dialaminya. Maka Ibnu Umar pun berkata: “Yang datang itu adalah Nabi Khidir.”

Tetapi kata Ibnu Al-Jauzi, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ali bin Ahsim daif. Bahkan katanya Ali bin Ashim itu lemah ingatannya.

Ada juga riwayat yang hampir sama dengan ini menyebutkan: “Ada dua orang lelaki yang berjualan tidak berapa jauh dari Abdullah bin Umar. Salah seorang dari peniaga itu banyak bersumpah untuk melariskan barang-barang dagangannya. Saat sedang bersemangat mempromosikan barang-barang dagangannya, tiba-tiba datang seorang lelaki yang berkata kepadanya: “Wahai hamba Allah, takutlah kepada Allah dan jangan banyak bersumpah. Sesungguhnya tidak akan bertambah rezekimu jika engkau banyak bersumpah. Dan sebaliknya, tidak akan mengurangkan kepada rezekimu jika engkau tidak bersumpah. Oleh itu katakanlah yang wajar-wajar saja.” Pedagang itu menjawab: “Inilah yang saya anggap wajar.”

Lelaki tua itu mengulang nasihatnya lagi. Dan saat hendak melangkah pergi, dia berkata lagi: “Ketahuilah bahawa termasuk daripada iman ialah mengutamakan kejujuran walaupun berat melaksanakannya dan meninggalkan kembohongan walaupun dianggap membawa keuntungan.”

Setelah memberi nasihat atau teguran itu, lelaki tua tadi pun pergi. Ibnu Umar berkata kepada peniaga itu: “Kejar dia, dan minta supaya dituliskannya apa-apa yang disebutkannya tadi!” Pedagang itu pun pergi mengejarnya dan berkata kepadanya: “Wahai hamba Allah, tuliskanlah apa yang engkau sebutkan tadi supaya tuan dirahmati Allah.” Lelaki itu tidak ada menulisnya tetapi mengulangi apa yang sudah disebutkannya tadi. Jadi, menurut Ibnu Umar yang datang itu adalah Nabi Khidir.

  • Nabi Khidir Dan Abu Mahjan

Diriwayatkan oleh Saif dalam kitab Al-Futuh, bahawa satu jemaah berada bersama Saad bin Abi Waqqas, maka mereka melihat Abu Mahjan berperang, maka yang meriwayatkan ini pun menceritakan kisah Abu Mahjan secara panjang lebar. Dari kesimpulan cerita-cerita mereka mengatakan bahwa Nabi Khidir masih hidup pada zaman itu.

Berkata Abu Abdullah bin Battah: “Bercerita kepada kami Syuaib bin Ahmad, yang didengarnya dari ayahnya, dari Ibrahim, bin Abdul Hamid, dari Ghalib bin Abdullah, dari Hasan Basri berkata: “Seorang lelaki berfaham Ahli Sunnah Waljamaah berlainan pendapat dan berhujah dengan seorang lelaki bukan Ahli Sunnah. Mereka berdebat mengkaji masalah qadar. Mereka berdebat di tengah-tengah perjalanan. Masing-masing mereka mempertahankan pendapatnya dan saling berbantah dengan suara yang keras tetapi akhirnya sepakat siapa yang duluan datang ke tempat mereka berhujah itu akan diangkat sebagai pemutus di antara mereka.

Tidak lama kemudian, muncullah seorang lelaki memikul bungkusan dalam keadaan rambut dan pakaian yang penuh debu, dan jalannya pun menunjukkan bahwa ia sudah sangat keletihan. Mereka berkata kepada lelaki itu: “Tadi kami berdebat tentang qadar dan masing-masing di antara kami memberikan hujah dan dalilnya tetapi tidak tahu siapa di antara kami yang benar. Kami sudah sama-sama setuju bahawa siapa orang yang mula-mula datang ke tempat ini akan kami angkat sebagai hakim. Maka sekarang kami minta tolong kepada tuan untuk menghakimi kami.”

Lelaki itu meletakkan bungkusannya kemudian duduk. Setelah istirahat sebentar dan nafasnya sudah mulai tenang, dia pun berkata: “Jika demikian, duduklah kalian di sini.” Kemudian lelaki itu menghakimi mereka secara bijaksana.” Menurut Hasan Basri lelaki yang mengadili mereka itu adalah Nabi Khidir.

  • Nabi Khidir Memberi Pelajaran

Diriwayatkan oleh Hammad bin Umar, dari A-Sara bin Khalid, dari Jakfar bin Muhammad, dari ayahnya, dari kakeknya Ali bin Husain, katanya pembantu mereka pergi berlayar menaiki kapal. Ketika dia hendak merapat ke pantai tiba-tiba dia melihat di sana duduk seorang lelaki yang sedang menerima hidangan makanan dari langit. Makanan itu diletakkan di hadapannya kemudian dia pun memakannya. Setelah dia kenyang, makanan itu diangkat kembali ke langit. Pembantu yang merasa tkjub itu memberanikan dirinya mendekati orang itu sambil bertanya kepadanya: “Hamba Allah yang manakah engkau ini?” Lelaki itu berkata: “Aku adalah Khidir yang barangkali engkau sudah pernah mendengar nama itu.” Pembantu itu bertanya lagi: “Dengan (amalan) apakah didatangkan kepadamu makanan dan minuman ini?” Lelaki itu menjawab: “Dengan nama Allah yang Maha Agung.”

  • Nabi Khidir Dan Petani Mesir

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam kitab Al-Zuhdi, yang diterima dari Hammad bin Usamah, dari Mas’ar, dari Maan bin Abdul Rahman, dari Aun bin Abdullah, dari Utbah, dari Ibnu Mas’ud, mengatakan: “Ada seorang lelaki di Mesir sedang bercocok tanam di kebunnya. Ketika itu dia sedang gelisah sambil tunduk mengerjakan ladangnya. Ketika dia mengangkat kepalanya, tiba-tiba di melihat di hadapannya berdiri seorang lelaki yang sedang memperhatikan apa yang dilakukannya dan sambil memperhatikan wajahnya. Lelaki itu berkata: “Kuperhatikan dari tadi engkau murung dan gelisah, mengapa begitu?” Lelaki yang bercocok tanam itu berkata: “Tidak ada apa-apa.”

Kemudian lelaki yang datang tadi berkata: “Dunia adalah kesenangan yang sedikit dan masanya amat terbatas, dan kesenangan itu dinikmati oleh orang baik dan orang jahat. Sedangkan akhirat kesenangan yang hakiki dan abadi.”

Mendengar itu lelaki yang bercocok tanam itu berkata: “Sebenarnya saya sedih memikirkan keadaan kaum muslimin sekarang ini." Lelaki yang datang itu berkata: “Allah Subhana Wara'ala akan membebaskanmu dari kesusahan kerana engkau perduli atas nasib kaum Muslimin. Cuba tanya siapakah orangnya yang meminta kepada Allah kemudian Allah tidak memenuhi permintaannya, siapakah orang yang doanya tidak terkabul? Siapakah yang berserah diri kepada Allah lalu Allah tidak melindunginya?” Mus’ir berkata: “Menurut mereka orang yang memberi pengajaran itu adalah Khidir.”

  • Nabi Khidir Datang Ke Baitul Haram

Berkata Abu Naim dalam kitab Al-Hilyah: “Bercerita kepada kami Ubaidullah bin Muhammad, dari Muhammad bin Yahya, dari Ahmad bin Mansur, dari Ahmad bin Jamil, katanya berkata Sufyan bin Ainah: “Pada waktu saya tawaf di Baitullah, tiba-tiba saya melihat seorang yang sedang memimpin satu kumpulan manusia mengerjakan tawaf. Saya bersama orang yang berdiri di sekeliling memperhatikan lelaki itu. Ada di antara mereka yang berkata: “Lelaki yang memimpin kumpulan yang tawaf itu nampaknya seorang yang ikhlas dan berilmu.” Kami amati dia bahkan kami ikuti ke mana dia pergi. Lelaki itu pergi ke maqam kemudian mengerjakan shalat di situ. Selesai solat dia menadahkan kedua tangannya dan berdoa. Setelah itu dia melihat ke arah kami dan berkata: “Tahukah kalian apa kata Tuhanmu?”

Kami jawab: “Tidak.” Dia berkata: “Tuhanmu berkata: “Aku adalah raja. Kamu mendakwa diri kamu sebagai raja.” Kemudian dia memalingkan wajahnya ke arah kiblat, menadahkan tangannya sebagai tanda berdoa kemudian berpaling kepada kami dan bertanya lagi: “Tahukah kamu apa kata Tuhanmu?” Kami jawab: “Tidak.” Dia berkata: “Tuhanmu berkata: “Akulah yang hidup dan tidak akan mati untuk selamanya. Kamu mendakwa diri kamu hidup dan tidak akan mati."

Setelah itu dia menghadap ke arah kiblat dan mendoa. Selesai berdoa berpaling kepada kami sambil berkata: “Tahukah kamu apa kata Tuhanmu?” Kami jawab: “Tidak.” Dia berkata: “Tuhanmu berkata: “Akulah Tuhan yang apabila menghendaki sesuatu akan terjadilah ia. Ada di antara kamu yang mengaku apabila menginginkan sesuatu maka akan ada dia.”

Kata Ibnu Ainah lagi: “Kemudian dia pun pergi dan kami tidak melihatnya lagi. Setelah itu saya berjumpa dengan Sufyan As-Tsauri dan dia berkata: “Barangkali lelaki itu adalah Khidir atau wali Allah yang lain.”

  • Nabi Khidir Dan Istana Para Shuhada

Ada diceritakan ketika Hasan Basri berceramah di hadapan jemaahnya, tiba-tiba datang seseorang yang matanya kehijau-hijauan. Melihat yang demikian Hasan Basri bertanya kepadanya: “Apakah memang begini engkau dilahirkan oleh ibumu atau ini sebagai tanda?” Orang yang baru datang itu berkata: “Apakah engkau mengenalku wahai Abu Said?” Hasan Basri berkata: “Siapa engkau sebenarnya?” Lelaki itu memperkenalkan dirinya sehingga jelas bagi semua jemaah yang ada di tempat itu. Hasan Basri berkata lagi: “Tolong ceritakan bagaimana kisahmu.”

Lelaki itu berkata: “Pernah pada suatu hari dahulu aku mengangkut semua barang-barangku ke dalam kapal. Aku pun berlayar menuju Cina. Ketika berlayar mengharungi lautan yang dalam, tiba-tiba angin bertiup kencang. Terjadi ombak yang begitu hebat dan kapal yang kami naiki pun terbalik. Rupanya ajalku belum tiba, aku dibawa oleh ombak ke pantai. Aku terdampar di satu pulau yang tidak didiami oleh manusia. Empat bulan lamanya aku terasing di pulau itu. Makanan tidak ada kecuali daun-daunan dan batang kayu yang lapuk. Bahkan minuman pun tidak ada kecuali air mata yang sentiasa mengalir kerana sedihnya.

Tidak sanggup menahankan penderitaan hidup seperti itu aku pun bermaksud berenang menyeberangi lautan luas. Ketika berjalan mendekati laut yang ombaknya melambai-lambai itu, tiba-tiba di hadapanku sudah ada istana yang pintunya seperti perak. Kubuka pintunya, dan di dalam terdapat kamr-kamar dan beberapa ruang tamu yang lengkap dengan perhiasan. Di dalam istana itu juga ada beberapa buah peti yang dihiasi dengan permata. Rasa ingin tahuku membuatku mendekati peti-peti itu. Kemudian terciumlah semerbak harum. dari peti-prti itu Aku buka perlahan-lahan, dan di dalammya ada mayat yang masih segar seperti orang tidur. Aku tutup kembali peti itu kemudian aku keluar dari istana itu.

Begitu turun dari tangga istana, aku berjumpa dengan dua orang pemuda gagah dan nampak ramah. Mereka bertanya siapa aku dan aku pun memperkenalkan diri serta menceritakan serba sedikit tentang mengapa aku bisa sampai di sana. Mereka berkata: “Pergilah ke pohon itu. Di bawah pohon itu ada taman yang indah. Dan di situ nanti akan ada orang tua yang sedang mengerjakan shalat. Dia orang baik. Ceritakan tentang diri dan keadaanmu kepadanya, niscaya dia akan menunjukkan jalan bagimu.”

Aku pun pergi ke pohon yang mereka tunjukkan itu. Memang benar, di bawahnya ada seorang lelaki tua sedang duduk berzikir. Aku ucapkan salam kepadanya kemudian dia pun menjawabnya. Dia tanya siapa diriku kemudian aku pun mejelaskan siapa diriku. Dia tanya mengapa aku sampai di tempat itu, kemudian aku ceritakan semuanya.

Lelaki itu berdiam diri sejenak seakan-akan sedang merenungkan seluruh perjalanan hidupku. Lalu dia bertanya lagi di mana kampungku, dan ini juga kujelaskan dengan sejelas-jelasnya. Kemudian lelaki itu berkata: “Kalau begitu, duduklah dahulu.” Aku pun kemudian duduk memperhatikan lelaki itu melanjutkan zikirnya. Tidak lama kemudian datanglah tumpukan awan mendekati beliau.

Anehnya, awan itu dapat berkata-kata seperti manusia dan menyapa: “Assalamu Alaikum ya, wali Allah.” Beliau menjawab salam awan yang kemudian berhenti di hadapannya itu.

Beliau bertanya kepada awan itu: “Ke mana engkau hendak pergi?” Awan itu menjawab: “Aku akan pergi ke kampung ini dan kampung ini.” Beliau berkata, "Kalau begitu, pergilah." Kemudian awan itu pun pergi seperti ditiup angin. Datang lagi awan-awan yang lain dan kesemuanya berhenti di depan beliau. Beliau bertanya lagi kepada setiap awan yang datang hingga akhirnya: “Ke mana engkau akan pergi?” Segumpalan awan menjawab: “Saya akan pergi ke Basrah.” Beliau berkata: “Kalau begitu, turunlah dahulu.” Awan itu turun dan berhenti di hadapan beliau. Beliau berkata lagi: “Bawa orang ini ke depan rumahnya dengan selamat!”

Nampaknya awan itu menuruti permintaannya dan siap untuk segera mengangkutku. Sebelum berangkat, aku bertanya kepada orang tua itu: “Demi Tuhan yang telah memuliakan engkau, tolong ceritakan kepadaku istana apakah itu tadi, siapa dua orang pemuda itu dan siapakah engkau?”

Orang tua itu berkata: “Istana yang engkau lihat tadi adalah tempat para syuhada yang gugur di laut. Orang-orang yang mati syahid di laut telah diangkut oleh malaikat. Mayat para syuhada itu mereka masukkan ke dalam peti yang dihiasi dengan emas dan permata, disembur dengan wangi-wangian dan mereka masukkan (simpan) di dalam istana seperti yang engkau lihat tadi. Dua orang pemuda tampan yang engkau jumpai tadi adalah malaikat yang diperintah Allah untuk mengurus mereka pada waktu pagi dan petang. Sedangkan aku ini adalah Khidir. Dahulu Aku memohon kepada Allah supaya mengumpulkanku dengan umat nabimu, Muhammad Salallahu'alaihi Wassalam.”

Lelaki bermata hijau itu melanjutkan ceritanya; “Sewaktu terbang bersama awan, aku terperanjat kerana melihat sesuatu yang mengejutkan. Dan itulah sebabnya mataku seperti yang engkau lihat ini.”

Mendengar verita itu Hasan Basri berkata: “Sungguh mengagumkan pengalaman hidupmu.”

  • Nabi Khidir Dan Seorang Pelarian

Menurut sebuah riwayat, Raja Sulaiman bin Abdul Malik telah memerintahkan menterinya untuk menangkap seorang lelaki yang sangat dicari untuk dibunuh. Sebaik mengetahui perintah raja itu, lelaki yang dicari-cari tadi segera melarikan diri. Lelaki itu lari ke kampung lain. Di kampung itu ternyata ia juga mendengar berita hangat bahwa orang dengan ciri-ciri persis seperti dirinya sedang dicari dan diperintahkan untuk ditangkap dan dibunuh. Dia semakin ketakutan, kemudian lari lagi ke kampung lain. Di kampung ini pun rupanya sudah gempar berita tentang dirinya sehingga ia lari lagi ke kampung lain. Begitulah yang terus menerus ia dengar setiap kali keluar dari satu kampung dan masuk ke kampung lainnya. Akhirnya dia memutuskan untuk lari ke negeri di luar kekuasaan Sulaiman bin Abdul Malik.

Maka sampailah ia di suatu kawasan padang pasir yang amat luas, tempat yang sama sekali tadak ditumbuhi pepohonan, tidak ada air dan makanan apapun. Bahkan nampaknya tempat itu adalah tanah yang tidak pernah diinjak oleh manusia.

Namun di sana ia melihat seorang lelaki tengah mengerjakan shalat. Diam-diam ia memperhatikan sekeliling orang yang yang sedang shalat itu, dan tidak melihat adanya tunggangan, tidak ada perbekalan dan sebagainya. Ia sangat heran melihat lelaki yang berada seorang diri di tempat itu. Dia ingin mendekati lelaki itu tetapi segera membatalkan niatnya kerana rasa takut. Hatinya bertanya-tanya: “Ini manusiakah, atau bangsa jin?”

Karena tak kuasa menahan rasa penasaran, akhirnya ia memberanikan diri untuk mendekati lelaki itu. Lelaki itu memandang ke arahnya lalu berkata: “Apakah mungkin Sulaiman bin Abdul Malik yang membuatmu ketakutan sehingga tersesat ke tempat ini?” Ia segera menjawab: “Betul tuan!" Lelaki itu pun berkata: “Mengapa tidak engkau buat perisai bagi dirimu?” Ia bertanya: “Perisai apa maksudnya?” Lelaki itu menjawab: “Bacalah zikir seperti ini (yang maksudnya) adalah:

Maha Suci (Tuhan) Yang Maha Esa yang tidak ada Tuhan selain-Nya.
Maha Suci (Tuhan) Yang Maha terdahulu dan tidak ada yang menjadikan-Nya.
Maha Suci (Tuhan) Yang Maha Kekal dan tidak akan binasa.
Maha Suci (Tuhan) Yang Dia setiap hari dalam kesibukan.
Maha Suci (Tuhan) Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan.
Maha Suci (Tuhan) yang telah menciptakan apa yang dilihat dan tidak terlihat
Maha Suci (Tuhan) yang mengajari segala sesuatu tanpa pengajaran secara langsung.

Dalam zikir di atas ada disebutkan bahawa Allah setiap hari, atau setiap waktu, berada dalam kesibukan. Tentang ini sebenarnya dapat ditemui di dalam Al Qur'an, yaitu ayat yang menyebutkan: "Setiap waktu Dia (Allah) dalam kesibukan." (Al-Rahman: 29)

Maksudnya Allah SWT sentiasa dalam keadaan menciptakan, menghidupkan, mematikan, memelihara, memberi rezeki kepada semua makhluk dan sebagainya.

Orang itu berkata: “Bacalah zikir tadi.” Lelaki itu pun mulai menghafal zikir tersebut dan membacanya. Tiba-tiba saja lelaki itu raib dan tidak tampak lagi. Tetapi berkat amalan itu, perasaan takutnya hilang, dan tiba-tiba saja ia ingin pulang kampung untuk menjumpai keluarganya, bahkan ia ingin menghadap Sulaiman bin Abdul Malik.

Pada suatu hari di mana rakyat jelata dibolehkan berjumpa dengan Sulaiman bin Abdul Malik, ia pun masuk ke istananya. Begitu masuk ke ruang tamunya, Sulaiman bin Abdul Malik memandanginya seakan ada sesuatu yang sangat ingin dikatakannya. Sulaiman mendekatinya kemudian berkata: “Engkau telah menyihirku!” Ia menjawab dengan takzim, “Wahai Amirul Mukminin, saya tidak mengguna-gunai tuan. Saya tidak pernah belajar ilmu sihir, dan saya tidak menyihir tuan.”

Sulaiman bin Abdul Malik menerangkan apa yang ada dalam hatinya secara jujur: “Dulu aku begitu marah melihat engkau. Aku sudah bertekad akan membunuh engkau. Rasanya kerajaanku ini tidak sempurna kalau tidak membunuh engkau. Tetapi setelah melihat wajahmu tadi, aku begitu sayang kepada engkau. Sekarang ceritakan secara jujur apa yang engkau amalkan itu." Maka ia pun menyebutkan zikir tadi. Mendengar yang demikian Sulaiman bin Abdul Malik berkata: “Demi Allah, Khidirlah yang mengajarkan amalan itu kepadamu.” Akhirnya raja memaafkan segala kesalahannya dan menyayanginya.

  • Amalan yang paling disukai Allah

Dari Raja’, beliau berkata: “Pernah pada suatu hari ketika saya berada di samping Sulaiman bin Abdul Malik, tiba-tiba datang seorang lelaki tampan. Lelaki itu memberi salam kemudian kami jawab. Lalu berkatalah ia: “Wahai Raja’, sesungguhnya telah diuji keimananmu ketika engkau dekat dengan lelaki ini (Raja Sulaiman). Jika engkau dekat dengan dia, maka engkau akan celaka. Wahai Raja’, engkau harus senantiasa berbuat baik dan menolong orang-orang lemah. Ketahuilah, barangsiapa yang mempunyai kedudukan di kerajaan sultan, lalu dia mengangkat hajat orang-orang lemah yang mereka tidak sanggup menyampaikannya, maka orang yang mengangkat atau menyampaikan itu akan menjumpai Allah pada hari kiamat dalam keadaan kedua tumitnya tetap ketika berhisab. Ketahuilah wahai Raja’ bahwa varabfsiapa yang menunaikan hajat saudaranya sesama muslim maka Allah akan menunaikan hajatnya. Dan ketahuilah pula, wahai Raja’ bahawa amalan yang paling disukai Allah adalah amalan menyenangkan hati orang mukmin.”

Setelah memberikan pengajaran yang bernas itu, tiba-tiba saja lelaki itu raib. Banyak yang berpendapat bahawa yang datang memberikan pelajaran itu ialah Nabi Khidir.

  • Nabi Khidir Dan Mas’ab bin Thabit bin Abdullah bin Zubair

Mas’ab bin Thabit bin Abdullah bin Zubair adalah seorang yang rajin beribadat. Dia selalu berpuasa dan mengerjakan solat tidak kurang dari seribu rakaat sehari semalam. Suati hari ia berkata: “Pernah ketika aku berada di dalam masjid sedangkan semua orang sudah pulang ke rumah masing-masing, tiba-tiba datang seorang lelaki yang tidak kukenal. Lelaki itu menyandarkan badannya ke dinding masjid sambil berkata: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahawa aku berpuasa sejak kelmarin. Sampai sekarang pun aku masih berpuasa. Aku tidak mendapatkan makanan dan minuman dan aku menginginkan al-Tharid (nama makanan). Berikanlah kepadaku ya, Allah, makanan dari sisi Engkau.”

“Entah dari mana asalnya, tiba-tiba aku melihat seorang pelayan datang membawa hidangan. Pelayan itu nampaknya tidak seperti orang biasa. Orangnya tampan, bersih dan pakaiannya sangat rapi. Dia berjalan ke arah lelaki yang berdoa tadi sambil meletakkan hidangan itu di hadapannya. Lelaki itu pun membetulkan duduknya menghadap hidangan itu. Sebelum mencicipi makanan itu dia memandang saya dan mengajak saya supaya ikut makan bersamanya. Hatiku berkata: “Syukur dia mengajakku makan bersama.” Ketika itu aku sudah yakin bahwa makanan itu tentulah didatangkan dari surga sehingga aku pun sangat ingin mencicipinya. Baru sedikit kumakan, tahulah aku bahawa makanan itu bukan makanan yang biasa di dunia ini.

Sebenarnya aku merasa sugkan dan malu kepada orang yang tidak kukenal itu. Karenyanya meski belum kenyang aku sudah mengucapkan terima kasih dan pergi ke tempat duduk tadi. Tapi aku tetap memperhatikan lelaki itu. Setelah dia selesai makan, datang lagi pelayan tadi mengambil sisa hidangan itu dan pergi lagi ke arah dari mana sebelumnya ia muncul. Lelaki yang baru selesai makan itu pun berdiri dan nampak akan pergi. Aku kejar dia kerana rasa ingin tahu siapa sebenarnya dia. Tetapi sayangnya, tiba-tiba saja dia menghilang dan aku tidak tahu ke mana perginya. Besar kemungkinan lelaki itu adalah Nabi Khidir.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir, dari Ibrahim bin Abdullah bin Al-Mughirah, dari Abdullah, berkata: “Telah bercerita kepadaku ayahku bahawa pengurus sebuah masjid berkata kepada Walid bin Abdul Malik: “Sesungguhnya Nabi Khidir sembahyang setiap malam di masjid.”


0 Komentar:

Posting Komentar